tempat seach

Senin, 28 Maret 2011

Di balik Serangan amerika ke libya

Di balik Serangan amerika ke libya

Amerika Pemimpin Penjajahan Gaya baru

Perang Dunia pertama dicirikan dengan kehancuran strukutur perekonomian, dan instabilitas keadaan politik dunia. Perang selalu menyisakan inisiator dan korban. Banyak orang meninggal dan banyak rezim jatuh. Perang adalah instrumen politik nasional, dimana keuntungan dari kemenangan tidak sebanding dengan akibat yang ditimbulkan oleh suatu peperangan. Untuk merespon Perang Dunia pertama ini, dibentuklah Liga Bangsa-Bangsa sebagai sebuah organisasi internasional yang bertujuan untuk bersama- sama membentuk keamanan bersama dan menggantikan abad militer dengan konsep perimbangan kekuatan dan masih ambisius dengan konsep kedaulatan negara serta menjamin adanya perdamaian dunia.
Dari sejak masa Liga Bangsa-Bangsa terbentuk, dunia internasional menghadapi dua isu yang signifikan yang dirasakan oleh masyarakat dunia yaitu terorisme dan pembatasan penggunaan kekuatan militer. Dengan dibentuknya Liga Bangsa-Bangsa, dan adanya usaha untuk mencegah kekerasan-kekerasan berikutnya, kebebasan negara-negara untukresort ke kekuatan militer menjadi semakin dibatasi, sedangkan hak untuk mempertahankan diri menjadi lebih signifikan, menggantikan ekspansif hak utuk menjaga diri (self-preservation). Salah satu usaha paling signifikan dari Liga Bangsa- Bangsa adalah menciptakan dan mengadopsi perjanjian internasional untuk menghilangkan perang sebagai sebuah instrumen kebijakan nasional pada tahun 1928 dan mengakui hak untukself- defence sebagai hak yang legal. Jadi secara implisit, tidak memasukkans elf- help sebagai bentuk legitimasi atas penggunaan kekuatan militer.
Disamping usaha-usaha ini, ada beberapa kekurangan yang timbul dari perjanjian internasional ini, misalnya larangan terjadinya perang yang gagal dihubungkan dengan sebuah sistem sanksi. Perjanjian internasional ini diratifikasi oleh 62 negara dengan memperbolehkan adanyaself-defence, namun gagal dalam mengartikan maknanya. Dengan hasil bahwa satu-satunya dasar legal dalam penggunaan kekuatan paksaan dalam hubungan internasional adalah diatur dalam kasus Caroline. Konsepsi i ni kemudian hanya kuat pada prinsipnya namun lemah dalam mekanisme pelaksanaannya. Hanya ada sedikit negara yang mempraktekkan perjanjian ini.
Otoritas Liga Bangsa-Bangsa kemudian menghadapi bentuk serangan agresif negara-negara major powers (seperti Jepang, Italia, dan Jerman) selama masa pertengahan hingga dekade 1930an. Utilitas Liga ini kemudian berakhir karena dunia menghadapi Perang Dunia kedua pada tahun 1939. Setelah berakhirnya perang dunia kedua, dibentuklah PBB, Piagam PBB, Nuremberg dan TokyoTr ibunals . Tujuan utama dari dibentuknya organisasi internasional yang baru ini adalah untuk mempertahankan perdamaian dan keamanan internasional dan pada akhirnya untuk mengambil ukuran efektifitas bersama untuk menghindari ancaman atas perdamaian dunia dan untuk menghindari segala bentuk agresi dan penindasan.
Hingga pengadopsian piagam PBB, tidak ada larangan yang lazim atas aksi unilateral jika memang keadaan menginginkannya. Sedangkan hukum internasional telah lama menerima bahwa PBB harus membatasi aksi balas dendam dalam konflik internasional sebagai respon yang legal. Di bawah piagam PBB, hak untuk self-defence adalah satu-satunya pengecualian terhadap larangan penggunaan kekerasan. Jadi, Piagam PBB memperkenalkan dunia politik terhadap sebuah catatan radikal mengenai sebuah larangan umum untuk melakukan tindakan unilateral untuk memaksa negara lain. Hal ini terkandung dalam Bab 2 ayat 4 Piagam PBB. Bab 2 ayat 4 adalah bagian dan parsel dari sebuah sistem keamanan yang kompleks. Di bawah Piagam PBB, aksi kekuatan unilateral tidak dikarakteristikkan sebagai self defence, namun sebagai motif, sehingga dianggap ilegal. Individual ataupun kolektif self defence menjadi fondasi jika dihubungkan dengan penggunaan paksaan.
Pasal 2 ayat 4 Piagam PBB juga didukung oleh Deklarasi Hubungan Persahabatan
pada tahun 1970 dan Deklarasi Mengenai Definisi Agresi pada tahun 1974, yang
semuanya itu menekankan pada penggunaan kekerasan ”tidak boleh dilakukan sebagai alasan untuk menyelesaikan isu-isu internasional.” Lain halnya dengan pasal 51 Piagam PBB, dalam pasal ini dituliskan mengenai dibolehkannyas elf-defence, namun walaupun diperbolehkan, tetap ada syarat yang harus dipenuhi. Syarat yang harus dipenuhi itu adalah jika ada negara A menyerang negara B maka negara B dapat menyerang balik negara A. Namun hal ini masih menjadi perdebatan tersendiri bagi semua kalangan. Setidaknya ada dua pendekatan yang mencoba melihat perdebatan ini melalui pendekatan mereka masing-masing. Pendekatan pertama yaitu pendekatanRestrictionist, dan yang kedua adalah pendekatan Counter-Restrictionist.
Dalam pendekatan Res tr iction is t, self-help benar-benar dilarang kecuali jika ada
arms attack. Sedangkan dalam pendekatan Counter-Restrictionist, pihak yang setuju pada
pendekatan ini menginterpretasikan Piagam PBB adalah mengakui hak-hak self defence yang berada di bawah customary internatonal law. Customary law itu sendiri mengakui adanya pembatasan terhadap pre emptive self defense sesuai dengan kriteriaCaroline. KriteriaCaroline itu sendiri adalah cepat, berlebihan, tidak memperhatikan pilihan- pilihan, tidak ada deliberasi, dan pengambilan aksi tidak harusunr eas onable.
Namun pada akhirnya tujuan dari pasal 51 itu sendiri adalah untuk melindungi kedaulatan dan kemerdekaan suatu negara. Jadi berdasarkan pemahaman mengenai pasal ini, maka jika suatu negara merasa kedaulatan dan kemerdekaannya diancam oleh negara lain, sangat memungkinkan bagi negara tersebut untuk menggunakan kekuatan paksaan terhadap negaraagresor, bahkan sekalipun jika serangan siagresor belum mencapai level armed attack. Selain ada self defence, self help, ada juga istilah anticipatory self
defence. Anticipatory self defence juga sebenarnya tidak diizinkan oleh dunia
internasional, apalagi setelah adanya kasus Israel menyerang Irak pada tahun 1981 karena merasa dirinya terancam oleh pengembangan nuklir Irak. Israel juga menyerang Lebanon karena merasa Lebanon melingdungi gerakan PLO. Selain Israel, ada juga Inggris pada tahun 1964 menyerang Yaman karena merasa Yaman mendukung anti kolonialisme di Aden. Amerika sendiri menyerang Libya pada tanggal 15 April 1986 karena merasa Libya adalah dalang dari pengeboman di sebuah diskotik di Jerman Barat, dimana ada banyak pekerja Amerika yang sedang berlibur. Amerika juga menyerang Iran pada 14 April 1988 sebagai tindakan balas dendam atas rusaknya naval ship mereka dikarenakan
serangan dari kapal selam Iran. Amerika juga pernah menginvasi Irak pada tahun 2003 tanpa mendapatkan izin dari Security Council. Amerika juga menyerang Sudan dan Afganistan karena menurut Clinton, kedua negara tersebut mempunyai hubungan dengan Al-Qaeda (jaringan teroris internasional).
Bagaimanapun, selama masa perang dingin, hal ini secara jelas terlihat bahwa teroris menggunakan tekhnologi untuk memanfaatkan kerawanan masyarakat modern. Masyarakat modern peka akan luasnya cakupan serangan dan senjata pemusnah massal. Fakta ini tidak menghilangkan kejahatan terorisme, seperti yang disaksikan bahwa terorisme mengembangkan kemampuannya melalui masa perang dingin. Amerika Serikat dan Israel erupakan pemimpin dalam mencari penggunaan kekuatan militer sebagai tindakan balasan atas terorisme. Pendirian Amerika Serikat yang dulu (pasif, reaktif, dan sabar) kepada para terorisme, pada tahun 1970an berubah menjadi (tidak ada kompromi, sangat proaktif) kepada para teroris. Pada tahun 1980an, terkandung dalamdoktrin
Reagan dan doktrin Shultz.
Retribusi yang efektif untuk membalas terorisme adalah dengan mematikan mereka melalui hak anticipatory self-defense. Terorisme selalu menjadi agenda utama bagi dunia internasional. Terutama setelah terjadi serangan di Amerika pada tanggal 11 September 2001. Dunia seakan berada pada realitas baru, dan serangan terorisme menjadi momentum bagi sistem legal internasional untuk secara formal setuju terhadap penggunaan kekuatan militer yang diformalkan dalam lawful force yang terdapat di piagam PBB. Pemerintahan Bush menyiapkan alasan untuk seranganpr e- em ptive.
Alasannya adalah dengan berusaha membuat negara lain menerima hak untuk mempertahankan diri sebagai justifikasi untuk aksi militer melawan negara-negara pemberontak. Mereka juga mengungkapkan bahwa karena adanya ancaman-ancaman baru, maka Amerika harus memliki pemahaman yang baru mengenai hak untuk mempertahankan diri yaitu dengan memperluas makna seranganpre- emptive. Bentuk serangan pre-emptive disini adalah dengan menyerang potensial agresor dan ”mematikan” mereka sebelum mereka dapat membalas dengan tindakan yang skalanya lebih besar lagi. Pemahaman baru inilah yang kemudian dikenal sebagai”Doktrin
Bush.”
Dalam kenyataan dimana grup teroris muncul untuk mendapatkanglobal
sophistication, ada sedikit keraguan apakah ada suatu kesepakatan bahwa terorisme
internasional menciptakan ancaman dan penggunaan kekuatan militer untuk menghentikannya adalah tidak tepat. Masyarakat internasional tidak memiliki pilihan lain selain mengembangkan strategi baru dengan tetap memasukkan unsur hukum internasional untuk menghentikan tindakan terorisme dan realita bahwa hukum internasional terlihat membatasi penggunaan kekuatan militer dalam aksis elf-defence.
ANALISIS
Menurut penulis, dalam artikel ini anticipatory self defense menjadi perdebatan dari dua pihak, pihak pertama pihak yang setuju atas adanya konsep anticipatory self defense dan pihak kedua adalah pihak yang tidak setuju atas adanya konsep ini. Tentu saja masing-masing pihak memiliki alasan tersendiri mengapa mereka setuju dan tidak setuju. Bagi pihak yang setuju, anticipatory self defense mutlak ada untuk mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan negara. Negara-negara pada dasarnya akan selalu berjuang untuk mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaannya, tidak peduli negara itu termasuk major power atau less power, konsepsi kedaulatan akan selalu dipegang oleh masing-masing negara. Konsepsi kedaulatan dan keberlangsungan hidup negara adalah konsepsi pemikiran kaum realis, dimana menurut Thucydides, Machiavelli, Hobbes, dan tentunya semua kaum realis klasik sedikit banyak memiliki pandangan bahwa politik kekuasaan merupakan suatu arena persaingan, konflik, dan perang antara negara-negara dimana masalah-masalah dasar yang sama dalam mempertahankan kepentingan nasional dan dalam menjamin keberlangsungan hidup negara berulang sendiri terus-menerus.1 Apalagi dengan keadaan dunia seperti sekarang ini, dimana terorisme menjadi ancaman utama dan telah menjadi isu bersama bagi semua negara, maka masing-masing negara merasa anticipatory self defense mutlak ada dan legal.
Namun, jika kita kembali ke konsep realis tadi dimana masing-masing negara akan selalu berusaha untuk mencapai kepentingan nasionalnya, disinilah kemudian terdapat dilema. Apakah benar konsep anticipatory self defense ini akan benar-bena
murni dijalankan demi kepentingan bersama negara-negara? Apakah benar jika pada akhirnya konsep anticipatory self defense ini dilegalkan maka akan tercipta dunia yang damai tanpa konflik? Disinilah kemudian dilema itu muncul, dari pengalaman yang ada, konsepsi anticipatory self defense ini kemudian hanya menjadi topeng bagi negara-negara besar untuk mendapatkan kepentingan nasionalnya. Kita ambil contoh yang paling nyata adalah invasi Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2003. Amerika selalu membawa konsep anticipatory self-defense demi menghindari kecaman masyarakt dunia. Amerika berdalih bahwa invasi Amerika ke Irak merupakan langkah yang tepat untuk ”mematikan” segala jenis tindak tanduk teroris karena menurut Amerika, Saddam Hussen (Presiden Irak pada masa itu) memiliki hubungan dengan pemimpin jaringan teroris Al- Qaeda (Osama bin Laden), selain itu menurut Amerika Serikat, Irak pada waktu itu sedang mengembangkan senjata pemusnah massal yang dapat mengancam dunia internasional.
Namun kemudian, sejumlahscholars menemukan alasan lain dibalik invasi Amerika ke Irak. Disinyalir ada kepentingan Bush dibalik serangan Amerika ke Irak. Pemerintah Amerika Serikat (dalam hal ini masih di bawah pemerintahan Bush Junior) memiliki sentimen negatif terhadap Irak dan Saddam Hussein. Amerika Saerikat meyakini Irak sebagai ‘axis of evil’.2 Saddam dilihat sebagai tokoh yang berbahaya bagi Amerika Serikat. Bahkan pada tanggal 12 September Bush memerintahkan Richard Clarke (Bush’s Chief counterterrorism adviser) untuk melihat segala kemungkinan dari keterlibatan Saddam.3 Invasi juga dilakukan Amerika Serikat ke Irak atas adanya kepentingan nasional mereka, dalam hal ini adalah kepentingan untuk menguasai ladang minyak di Irak.
Ketergantungan AS terhadap minyak sangat tinggi. Ini membuat pergerakan
balance of power ke arah oil producer. Kondisi ini membuat AS dan negara kapitalis
lainnya dalam posisi rentan terhadapoil- s hock yang dapat berakibat fatal. Irak merupakan solusi dari masalah ini, karena Irak memiliki minyak terbesar kedua di dunia dan biaya produksi yang murah. Namun, selama dalam masa pemerintahan Saddam, minyak Irak ini tidak dapat digunakan bagi keuntungan AS. Serangan AS ini juga diharapkan dapat
‘memperlihatkan’ kepada negara timur tengah yang membangkang terhadap AS, bahwa mereka memiliki kekuatan militer yang kuat dan dapat dengan mudah menghancurkan negara seperti Irak. Ini juga diharapkan dapat mengakibatkan efek domino pada negar timur tengah. Inilah alasan kenapa Amerika Serikat begitu menggebu-gebu untuk menggulingkan pemerintahan Saddam dengan menginvasi Irak, hingga Amerika Serikat pun berani melangkahi keputusan PBB yang dalam hal ini merupakan badan yang memiliki legalitas tinggi untuk menyelesaikan segala bentuk aksi yang dapat mengancam perdamaian dunia. Dalam salah satu dinner bersama Kofi Annan (Sekretaris Jendral PBB pada masa itu), Bush berkata: Kofi, you’ve got to do what you’ve got to do, and I’ve got
to do what I’ve got to do. Hal ini semakin membuktikan bahwa Amerika Serikat sudah
tidak menghiraukan adanya asas-asas perdamaian seperti yang telah mereka (negara-
negara anggota PBB) telah sepakti bersama.
Melihat dari kasus diatas, wajar saja jika banyak pihak menganggap konsep
anticipatory self-defense lebih baik jangan dilegalkan. Ada satu kemungkinan terjadinya
tindakan sewenang-wenang yang akan dilakukan Amerika Serikat dan negara-negara
major power lainnya kepada negara-negara less power yang tidak mau tunduk dibawah
hegemoni mereka. Kita bisa menyaksikan bersama, bahkan sebelum konsepanticipator y
self-defense ini dilegalkan negara-negara major power ini bisa melakukan tindakan-
tindakan sewenang-wenang, apalagi jika konsep anticipatorty self defense dilegalkan, mereka akan semakin mendapat perlindungan legal atas apa yang mereka lakukan dengan menggunakan tameng anticipatory self-defense.
Apalagi jika kita tinjau dalam Piagam PBB pasal 2 ayat 4 yang berbunyi “All
members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purpose of the United Nations.” Maka semakin jelas terlihat
bahwa negara-negara dilarang menggunakan ancaman atau kekerasan terhadap negara lain.4 Amerika (dalam invasi Irak) jelas-jelas telah melanggar piagam PBB khususnya pasal 2 ayat4.
Konsep anticipatory self defense yang masih menjadi perdebatan apakah harus
dilegalkan atau tidak merupakan kasus yang serupa dengan perdebatan mengenai apakah
intervensi humaniter legal atau tidak. Sering kali, konsep anticipatory self defense
dihubungkan dengan konsep intervensi humaniter. Ada beberapa kasus dimana
Anticipatory self defense dilakukan oleh suatu negara dengan alasan intervensi humaniter,
walaupun pada akhirnya sering kali intervensi yang dilakukan suatu negara ke negara lain tidak murni mengenaihumanity, melainkan ada kepentingan politik dan ekonomi dibaliknya. Amerika bisa menjadi satu contoh yang sangat ”ahli” dalam hal ini. Banyak intervensi yang dilakukan Amerika kepada negara lain karena Amerika punya kepentingan di negara tersebut. Misa;nya saja intervensi Amerika Serikat ke Grenada bulan oktober 1983 dan ke Panama bulan desember 1989 dengan dalih konsiderasi humaniter kurang begitu diyakini masyarakat internasional. Di Panama, Amerika Serikat bukan hanya menginvasi negara tersebuttetapi juga sekaligus menangkap Presiden Noreigia dan membawanya ke Amerika Serikat dan memasukkannya ke penjara. Intervensi yang dilakukan Amerika serikat ke Panama ini sebenarnya bertujuan untuk menggulingkan para pemimpin totaliter dan memungkinkan kehidupan yang demokratis di negara-negara tersebut dan bukan intervensi humaniter.5
Untuk alasan ini, Amerika bisa mendapatkan ”restu” dari PBB dan sekaligus melegalkan apa yang Amerika sebut ”intervensi humaniter” disana, walaupun pada kenyataannya ada kepentingan politik dibalik semua itu. Hal yang sama pernah dilakukan Amerika dalam hal invasinya ke Irak pada Maret 2003. Pada awalnya, Amerika mencoba tetap memakai ”tameng” intervensi humaniter dibalik keinginannya menginvasi Irak. Namun sayangnya, jaln yang Amerika tempuh tidak selalu mulus. Ternyata ada beberapa negara anggota PBB yang tidak memberikan ”restunya” kepada Amerika. Namun sepertinya Amerika sudah sangat menggebu-gebu ingin menginvasi Irak, sekalipun invasinya ilegal karena tidak mendapat restu dari PBB dan sama sekali tidak menghormati hukum internasional, namun Amerika tetap melakukan apa yang telah Presiden Bush cita-citakan dari sejak kejadian Pemboman dua gedung kembar WTC pada 11 September 2001. Selain Amerika Serikat, ada juga NATO yang pernah menginvasi Kosovo tanpa restu dari PBB khususnya Dewan Keamanan. Seperti yang kita ketahui, semenjak tanggal 24 Maret 1999, selama 70 hari pasukan udara NATO melakuakn serangan udara ke negara bekas Yugoslavia itu untuk mencegah malapetaka humaniter
terhadap penduduk Kosovo asal Albania yang beragama Islam. Intervensi ini jelas tidak
sah karena tidak mendapat otorisasi dari Dewan Keamanan.6
Berkaca dari praktek langsung yang dilakukan Amerika ini, masyarakat internasional sangat mempermasalahkan legalitas intervensi humaniter yang dilakukan suatu negara ke negara lain ataupun intervensi humaniter suatu fakta militer ke suatu negara tanpa mendapatkan otorisasi dari Dewan Keamanan. Dapatlah dikatakan bahwa ditinjau dari berbagai aspek, intervensi humaniter tanpa otorisasi Dewan Keamanan tidak didukung oleh banyak pakar karena dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Piagam PBB. Hanya intervensi humaniter yang direstui Dewan Keamananlah yang dibenarkan hukum internasional, sedangkan intervensi yang dilakukan secara unilateral atau kolektif oleh sejumlah negara tanpa otorisasi Dewan Keamanan dianggap tidak sah dan bertentangan dengan hukum internasional dan ketentuan-ketentuan PBB.7
KESIMPULAN
Anticipatory self defense maupun intervensi humaniter mungkin akan selalu
menjadi perdebatan tanpa kita ketahui akhir dari perdebatan itu sendiri. Akan selalu ada pihak yang setuju dengan kedua konsep ini dan juga akan selalu ada pihak yang tidak setuju akan konsep ini. Terlepas dari siapa yang menjadi ancamannya, baik itu terorisme ataupun yang lainnya. Penulis sendiri menilai kedua konsep ini jika ingin dilegalkan harus melihat ke beberapa aspek diantaranya, apakah kedua konsep ini benar-benar perlu untuk dijalankan? Apakah jika kedua konsep ini dilegalkan dapat menjamin tidak adanya eksploitasi negara-negara major power ke negara-negara less power? Bagaimana praktik dari kedua konsep ini dilapangan, apakah sesuai dengan hukum internasional atau tidak? Menurut penulis, aspek-aspek ini harus benar-benar dipertimbangkan sebelum melegalkan kedua konsep ini karena kedua konsep ini sangat riskan untuk dimanipulasi dengan kepentingan politik dan ekonomi seperti halnya yang sering Amerika Serikat dan NATO lakukan.
Seandainya dua konsep ini dilegalkan kemudian ternyata dimanipulasi oleh kepentingan-kepentingan semacam kepentingan politik dan kepentingan ekonomi maka dunia ini tidak akan pernah mencapai ”perdamaian” yang dicita-citakan oleh semua negara, yang ada hanyalah eksploitasi negara-negara major power kepada negara-negara
less power. Negara-negara major power ini akan menggunakan kedua konsep tersebut
untuk melegalkan setiap aksi mereka. Dan pada akhirnya hukum internasional yang memang tidak memiliki kekuatan mengikat tidak dapat menghentikan tindakan mereka karena mereka seolah-olah mendapat restu dari PBB yang menaungi semua negara.
Oleh karena itu, penulis termasuk pihak yang tidak setuju terhadap pelegalan kedua konsep ini, berkaca dari semua pengalaman yang ada, penulis khawatir kedua konsep ini akan disalahgunakan dan dimanipulasi oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan. Selama sistem dunia ini masih anarki dan kekuatan hukum internasional tidak mengikat, akan selalu ada pengingkaran-pengingakaran dari negara-negara dalam hal manipulasi kedua konsep ini. Bayangkan saja, dengan masih dalam tahap perdebatan saja, kedua konsep ini tetap dijalankan oleh negara-negara semacam Amerika Serikat, Israel, dll, tanpa menghormati adanya hukum internasional, apalagi jika dilegalkan, mereka akan semakin ”dilindungi” dan hukum internasional akan semakin sulit untuk mengendalikan mereka. Jika hal ini terjadi, maka ”perdamaian” yang dicita-citakan hanya akan menjadi utopia tanpa pernah terealisasi.

Tidak ada komentar: